Sabtu, 18 November 2017

PENDIDIKAN PENGHARGAAN

            Banyak benda hasil olah pikir dan rasa, kearifan masyarakat Indonesia masa lalu, yang luput dari upaya pendokumentasian. Dalam pandangan sementara orang masa kini, masyarakat Indonesia masa lalu “sama sekali belum mengenal teknologi”. Pandangan yang keliru itu perlu diluruskan, dengan cara menggali kembali prestasi hidup masyarakat masa lalu dalam berbagai bidang. Banyak catatan tersirat yang bisa dijadikan sumber acuan. Kini, catatan harian pun telah cukup dianggap valid sebagai sumber data. Catatan fisik yang masih banyak tersedia di lapangan, berupa peninggalan kearifan lokal, kebudayaan fisik, artefak, maupun tradisi lama yang masih dimuliakan di sekitar kehidupan berbau budaya asing, masih bisa dijadikan data awal untuk pendokumentasian itu. Semua hasil pendataan awal itu bisa menjadi sumber belajar pendidikan penghargaan.
            Merebaknya benda-benda plastik, sudah bisa dipastikan, semakin mendesak benda-benda berbahan bambu, kayu, maupun logam ringan yang dulu pernah meraja sebagai bahan utama perkakas rumah tangga masa lalu. Wadah air, wadah beras, wadah sayur, wadah bumbu, hingga tempat penyimpanan pernak-pernik perkakas rumah tangga, kini, lebih didominasi benda berbahan plastik. Revolusi plastik betul-betul telah melanda semua belahan dunia. Manfaat dan madarat produk-produk berbahan plastik ini telah pula dituai oleh berbagai negara pengguna perangkat berbahan murah dan praktis ini. Kekhawatiran menumpuknya bahan unorganic ini telah pula menjadi bahan wacana serius hampir di semua belahan dunia.
            Terkait dengan kehadiran bahan-bahan plastik, satu keterampilan baru telah muncul, yaitu keterampilan mengolah bahan plastik. Barang-barang rumah tangga praktis banyak muncul sebagai desain baru perkakas rumah tangga yang murah, ringan, dan cenderung gampang retak. Daur ulang plastik bekas pun telah dilakukan menghasilkan barang yang cenderung semakin buruk kualitas bahan dan kondisinya. Dikhawatirkan penggunaan wadah berbahan plastik bekasyang diolah sembarangan akan menimbulkan akibat buruk untuk kesehatan manusia dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sejalan dengan semakin banyaknya sisa buangan barang berbahan plastik, semakin banyak pula pemulung yang memanfaatkan benda plastik buangan itu sebagai benda usaha mereka. Pemulung, hampir di semua tempat, dipandang sebagai “sumber kecurigaan” bahkan “ancaman”. Ada juga kawasan-kawasan tertentu yang sengaja dipasangi rambu-rambu preventif juga kadang-kadang mengancam para pemulung. Di sisi lain, ada juga beberapa kalangan yang beranggapan bahwa para pemulung adalah para pahlawan yang membersihkan lingkungan mereka dari sampah plastik dan sejenisnya.
            Salah satu peristiwa menghebohkan yang muncul terkait dengan kekhawatiran efek samping penggunaan benda-benda berbahan plastik adalah “heboh melamine” (tahun 2006). Kondisi barang berbahan melamin yang indah tetapi murah-meriah, ditengarai dalam kondisi pemakaian tertentu, bisa mendatangkan penyakit kanker. Pemberitaan di media massa telah meresahkan masyarakat pengguna benda-benda berbahan melamine ini. Tetapi kemudian, setelah melewati pemberitaan dan pembahasan yang lumayan panjang, ditemukan “solusi” penggunaan melamine yang dianggap cukup aman, yaitu menghindari kondisi panas berlebihan. Panasnya masalah hanya sekejap, ketika para kuli tinta berebut berita dan menggelembungkan masalah agar laku dijual. Setelah sekian lama, orang mulai lupa dengan kondisi yang pernah dianggap sangat menakutkan tersebut. Entah, kini, setelah masalah melamin reda tanpa solusi yang melegakan, masalah seolah tuntas begitu saja, dan masyarakat kembali menggunakan bahan-bahan melamin dalam kondisi tenang seolah tanpa bahaya.
            Tidak semua perkakas rumah tangga sepenuhnya bisa digantikan dengan benda berbahan plastik. Masih ada sejumlah perkakas yang tetap bertahan dengan bahan asal. Namun, berapa banyak perkakas rumah tangga yang pernah digubah oleh leluhur kita dengan berbagai desain yang fungsional, sangat ergonomis, dan ramah lingkungan, hilang tanpa bekas. Pendokumentasian prestasi hidup sebagai gambaran dapatan budaya fisik jarang kita temukan. Bersama hilangnya catatan perkakas rumah tangga masa lalu, hilang pula nama-nama barang yang dulu pernah digunakan sehari-hari. Sekalipun telah muncul pengayaan kosa kata baru terkait dengan nama-nama benda baru, sangat disayangkan jika kekayaan lama hilang tanpa catatan.
            Budaya berhuma, mengolah tegalan, mengurus balong (kolam ikan besar), memasang keramba, membuat rakit, membangun jembatan bambu-gantung, memburu binatang (jenis ikan, burung, binatang berkaki empat), dan menyadap pohon, misalnya, telah hilang pula, lengkap beserta kosa kata nama-nama kegiatannya. Meskipun telah muncul jenis kegiatan lengkap dengan kosa kata nama kegiatan yang baru, misalnya dalam kegiatan mengolah sawah --pada zaman Orde Baru, penanaman padi menjadi salah satu jenis program penyeragaman yang dilakukan oleh Pemerintah hingga ke pelosok Papua, pada daerah tertentu kegiatan itu telah memaksa masyarakatnya berubah total dari tradisi yang telah sangat sesuai dengan lingkungannya. Dominasi kegiatan pariwisata, misalnya di Bali, telah pula mendesak perilaku tradisi masyarakatnya untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru sekaligus mengubah, melepas, bahkan menjauhi satu demi satu, setahap demi setahap, budaya asli miliknya.
            Perilaku-perilaku comotan yang bertalian dengan penghadiran barang dan kebiasaan baru yang asing telah mewabah di mana-mana. Budaya makan bakso dan mie kuah, mie goreng, mie instant, kini telah mewabah hampir ke seluruh bagian peloksok negeri ini. Perilaku makan gaya China ini, kini, telah menjadi perilaku wajar sehari-hari hampir semua masyarakat Indonesia. Para penjaja dan pengusaha bakwan, tekwan, bakso, bakpau, bakpia, dan sejenisnya yang diperkirakan semua berbau budaya China, telah mengembangkan wilayah jelajah armada dagangnya setahap demi setahap. Kita, kini, bisa menemukan pedagang mie bakso hampir di semua peloksok desa terpencil sekalipun. Begitupun budaya VCD, chiki, beng-beng, freshtea, aqua, fried chicken, dan doughnut, misalnya, telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Anak-anak hampir setiap hari mengkonsumsi makanan ringan sejenis chiki yang berharga beli sangat murah, tetapi entah bagaimana kondisi kandungan nutrisinya. Memang, pemroduk jenis makanan tersebut sangat pandai menarik perhatian anak-anak dengan aneka hadiah. Sebungkus makanan rasa jagung bakar, berharga Rp 500,00, telah diisi uang sebesar Rp 1.000,00 sebagai bonus, atau sejenis kalung dengan gantungan tiruan liontin, atau juga kartu-kartu dan sejenis koin bergambar tokoh kartun. Hal itu sangat mengundang minat anak-anak. Entah bagaimana efek khusus jangka panjang konsumsi makanan penuh MSG dan bumbu penyedap “tak bertanggung jawab nutrisi” itu bagi generasi mendatang!
            Pola tawaran yang sama telah pula diterapkan untuk konsumen orang dewasa, khususnya para perempuan, yang imbasnya juga bisa sampai kepada anak-anak. Ada sabun mandi yang “katanya” diisi kalung atau cincin emas sebagai bonus bagi yang beruntung mendapatkannya. Ada hadiah berupa uang atau barang yang “janjinya” diterakan di dalam kemasan barang. Ada hadiah yang bisa diraih dengan cara mengumpulkan kemasan barang. Ada juga yang lebih “demokratis” dengan cara menuliskan keinginan jenis hadiahnya. Atau, ada juga yang menjanjikan kunjungan para selebritis penjaja produk kepada mereka yang mendapatkan hadiah. Bahkan, begitu banyak tawaran hadiah yang di luar nalar-ekonomis, misalnya janji hadiah mobil untuk konsumen barang yang tidak seberapa harganya. Berbagai cara dilakukan orang untuk mengikat para konsumen dengan produk yang mereka tawarkan. Semua gaya dagang tersebut telah membunuh gaya dagang pasar tradisional yang adem-adem saja.

            Mimpi-mimpi telah disebar di seluruh sudut ruang keseharian manusia: lewat koran, majalah, tabloid, selebaran, poster, spanduk, baliho, radio, televisi, handphone (SMS, MMS, EMS), bahkan internet. Mimpi itu telah lama menguasai pikiran bangsa Indonesia. Mereka telah “merasa seperti orang asing” yang sehari-hari makan pizza, fried chicken, sukiyaki, coca cola, dan hidup dalam lingkungan ruangan ber-AC, bersofa gaya Itali, kamar gaya Spanyol, dan dapur gaya Perancis. Semua kebanggaan itu, semua mimpi itu, telah merampas sebagian besar kegeniusan pikiran bangsa kita. Semuanya telah mulai memadamkan pikiran-pikiran penggubahan yang --dulu-- selalu muncul sebagai respons positif terhadap kondisi lingkungan. Sementara itu, di sekolah pun, para guru sangat jarang yang peduli untuk mengajak para siswanya melihat dengan jernih apa yang pernah menjadi kekayaan pikir bangsanya, karena para guru pun telah terkontaminasi mimpi-mimpi menyenangkan tentang budaya milik orang asing itu. Terlebih, pemerintah pun --yang pada dasarnya bisa memaksakan suatu kebaikan lewat aneka peraturan dan tuntutan, seperti memasukkan masalah korupsi ke dalam materi ajar baru-baru ini-- tak begitu peduli dengan pendidikan penghargaan dalam kurikulum.


PENTINGNYA PENGHARGAAN DALAM MENGELOLA PEMBELAJARAN

Sama hal-halnya seperti pembahasan di atas tentang pentingnya penghargaan , di dalam pembelajaran bahasa indonesia pun bahkan di semua bidang pembelajaran pemberian penghargaan adalah salah satu hal yang paling manjur untuk memotivasi para peserta didik.
Maka, tidak salah bila pujian yang merupakan penghargaan menjadi salah satu bentuk alat pendidikan yang mampu memberikan motivasi belajar bagi siswa. Manakala seorang siswa mendapatkan penghargaan karena dia berprestasi, tentu semangat belajarnya pun akan meningkat, karena keinginan untuk mempertahankan dan menaikkan prestasi belajarnya. Motivasi belajar siswa akan meningkat ketika prestasi dan kerja keras untuk mencapai kesuksesan belajar itu diiringi penghargaan dan apresiasi yang baik.

Karena itu, pemberian penghargaan berupa pujian berperan sangat signifikan dalam upaya peningkatan motivasi belajar demi tercapainya keberhasilan pendidikan. Dan hal itu akan memberikan semangat bagi anak terhadap pekerjaan dan prestasi baik yang telah dilakukannya. Dengan begitu, siswa akan bertambah semangat lagi meningkatkan prestasinya dan termotivasi untuk mempertahankannya.

Peran Guru

Dalam pelaksanaan pendidikan, tiap anak memiliki motivasi (dorongan/alasan) untuk melaksanakan kegiatan. Dalam pendidikan, motivasi yang kuat memudahkan pencapaian tujuan, karena motivasi yang kuat ini melahirkan usaha aktivitas dan minat yang benar dalam mencapai tujuan itu. Motivasi adalah dorongan yang sangat menentukan tingkah laku dan perbuatan manusia. Ia menjadi kunci utama dalam menafsirkan dan melahirkan perbuatan manusia.

Peran yang demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut sebagai niyyah dan ibadah. Niyyahmerupakan pendorong utama manusia untuk berbuat atau beramal. Sementara ibadah adalah tujuan manusia berbuat atau beramal. Maka, perbuatan manusia berada pada lingkaran niyyah dan ibadah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan bahwa perbuatan sangat ditentukan oleh niyyah.

Peran guru sangat penting dalam mengarahkan dan menjelaskan kepada siswa tentang fungsi dan tujuan adanya penghargaan tersebut. Jangan sampai para siswa dalam menuntut ilmu hanya mengharapkan penghargaan. Penghargaan hanya seperti jembatan: hanya untuk menyeberang menuju tujuan. Dengan begitu, siswa akan paham bahwa yang terpenting adalah bagaimana mereka belajar dengan lebih baik tanpa pamrih.

KESIMPULAN
Penghargaan dalam kegiatan pembelajaran sangatlah penting , karena hal seperti itu sangat memotivasi murid-murid agar belajar lebih giat lagi . manakala seorang siswa mendapatkan penghargaan karena dia berprestasi, tentu semngat belajarnya pun akan meningkat , untuk mempertahankan prestasinya ataupun untuk meningkatkan prestasi yang sudah di dapatnya.




Minggu, 12 November 2017

Finlandia dan Teori Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara

Mengenal Lebih Dekat Sistem Pendidikan Di Finlandia
Salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia adalah Finlandia. Negara kecil di Eropa ini sangat maju.

Yang paling terkenal ke seluruh dunia dari Finlandia adalah ponsel Nokia, game Angry Bird dan pemandangan aurora yang mengagumkan.

Kemajuan negara ini tidak lepas dari peran pemerintah Finlandia yang secara serius ikut serta dalam memajukan sistem pendidikan di negaranya.

Sehingga tak heran jika Finlandia masuk ke dalam 10 besar sistem pendidikan terbaik dunia berdasarkan penilaian OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

Nah penasaran bukan bagaimana sistem pendidikan di negeri Angry Bird ini sehingga dikategorikan sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia?

Disini Caredoks akan memperkenalkan lebih dekat bagaimana sistem pendidikan di Finlandia yang dirangkum dari Hipwee.


Finlandia dengan sistem pendidikan terbaiknya di dunia
Mungkin kita akan sedikit terkejut dengan sistem pendidikan di Finlandia yang cukup berbeda dari negeri kita dan bahkan ada yang cenderung kebalikan dari pendidikan yang diterapkan di Indonesia.

Inilah beberapa sitem pendidikan yang diterapkan di Finlandia.

1. Anak-Anak Baru Boleh Bersekolah Setelah Berusia 7 Tahun

Berbeda dengan Indonesia yang sekarang ini pada umumnya orang tua sudah sangat sibuk mencari sekolah pre-school atau PAUD saat anak menginjak usia 3/4 tahun, di Finlandia nenurut hukum anak-anak mulai diperbolehkan bersekolah apabila anak sudah menginjak usia 7 tahun.

Alasannya karena pertimbangan mendalam terhadap mental anak-anak untuk belajar.

2. Setiap 45 Menit Belajar Siswa Berhak Mendapatkan 15 Menit Waktu Istirahat

Inilah yang unik dari sistem belajar di Finlandia. Setelah pembelajaran selama 45 menit berakhir, maka siswa berhak untuk mendapatkan waktu 15 menit untuk istirahat.

Mereka beranggapan bahwa kemampuan terbaik siswa untuk bisa membangun fokus dan menyerap ilmu baru akan datang jika ada kesempatan untuk mengistirahatkan otak.

Dan waktu belajar di sekolah Finlandia tidak lebih dari 5 jam sehari.

3. Semua Sekolah Negeri Bebas Biaya dan Sekolah Swasta Diatur Secara Ketat Supaya Tetap Terjangkau

Di Finlandia tidak perlu pusing mencari sekolah, karena disana semua sekolah berkualitas. Tidak ada kompetisi antar sekolah sehingga tidak ada istilah sekolah terbaik.

Semua sekolah negeri gratis dan sekolah swasta pun diatur secara ketat oleh pemerintah supaya biayanya terjangkau dan tidak membebankan.

Bukan hanya biaya pendidikannya saja yang gratis, tetapi pemerintah Finlandia pun menyediakan transpotasi sekolah, makan siang dan biaya kesehatan gratis juga.

4. Pemerintah Membiayai Semua Guru Untuk Mendapatkan Gelar Master

Peranan guru dalam meningkatkan mutu pendidikan sangatlah penting. Sehingga pemetintah Finlandia memberikan biaya gratis pada semua guru untuk mendapat gelar master.

Dan semua guru mulai SD sampai SMA wajib mendapat gelar master dan thesis yang sudah dipublikasikan.

Selain mendapat biaya pendidikan S2 gratis, gaji guru pun termasuk jajaran pendapatan paling tinggi di Finlandia. Bahkan 2 kali lipatnya dari pendapatan guru di USA.

5. Tidak Ada Ujian Nasional

Tidak ada UN di Finlandia, karena pemerintah percaya bahwa guru lebih paham tentang kurikulum dan cara terbaik menilai murid-muridnya.

Karena sistem pendidikan yang fleksibel inilah sehingga guru bisa mengembangkan potensi siswa-siswinya secara maksimal.

6. Jam Sekolah Lebih Pendek

Selain memiliki waktu istirahat yang panjang, waktu belajar di sekolah pun relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan negara lain, yaitu hanya 4-5 jam per hari.

Dan untuk siswa SMP dan SMA di Finlandia sudah menggunakan sistem pembelajaran layaknya kuliah.

Mereka akan datang dan belajar hanya pada pelajaran yang mereka pilih saja.

7. Tidak Ada Sistem Ranking Atau Peringkat di Sekolah

Tidak ada sistem ranking artinya tidak ada kompetisi antar siswa. Sehingga tidak menimbulkan diskriminasi antara siswa pintar dan kurang pintar. Mereka yakin bahwa semua siswa seharusnya mendapat ranking satu.

Itulah resep rahasia kenapa negara kecil di Eropa ini masuk dalam salah satu negara dengan peringkat sistem pendidikan terbaik dunia.

Mungkin negara kita tidak sepenuhnya bisa meniru sistem pendidikan negara lain.

Tapi setidaknya ini bisa menjadi perbandingan dan pembelajaran antara sistem pendidikan di Indonesia dan sistem pendidikan negara yang mendapat predikat terbaik dunia.


KESAMAAN KONSEP PENDIDIKAN FINLANDIA DAN KI HADJAR DEWANTARA

Terdapat kesamaan antara konsep pendidikan di Finlandia dengan prinsip-prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang ditulis puluhan tahun lalu.

Ki Hadjar Dewantara (Wikimedia Commons)
Dua tahun silam, dalam pidatonya yang bertajuk “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memaparkan adanya kesamaan konsep pendidikan Finlandia dengan konsep pendidikan yang diusung Ki Hadjar Dewantara. 

Ia menuturkan, kesamaan pertama merujuk pada kebijakan pemerintah Finlandia untuk menempatkan standarisasi pendidikan secara proporsional.

Konsep ini sama dengan buah pikiran Ki Hadjar Dewantara dalam buku “Pusara” (1940) yang menyatakan: “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi.”

Masih merujuk pada buku yang sama, Pusara (1940), terlihat kesamaan lain konsep pendidikan Finlandia dengan Ki Hadjar Dewantara. Pemerintah Finlandia yang menekankan pengaruh besar kesetaraan pada kinerja pendidikan rasanya akan “mengangguk” dengan pernyataan Ki Hadjar Dewantara berikut ini: “Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya.”

Sekitar 78 tahun yang lalu, dalam buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara berpendapat “Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, tak mungkin pendidik ‘mengubah padi menjadi jagung’, atau sebaliknya.” Konsep yang sama jika merujuk pada pandangan pemerintah Finlandia yang menganggap standarisasi kaku dan berlebihan merupakan musuh kreativitas.

Kesamaan yang terakhir muncul dalam Mimbar Indonesia (1948) saat Ki Hadjar Dewantara menganggap “Bermain adalah untutan jiwa anak untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani.” Secara singkat, Finlandia juga selalu menekankan bahwa anak harus bermain.

Fakta-fakta kesamaan konsep pendidikan Finlandia dengan Ki Hadjar Dewantara inilah yang membuat Anies Baswedan berujar: “Ironis ketika negara lain menerapkan prinsip-prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang ditulis puluhan tahun lalu dan sukses meningkatkan kinerja pendidikan mereka... saat kita sendiri semakin terasing dari pemikiran-pemikirannya.”


PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT KI HAJAR DEWANTARA

Konsepsi Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara

            Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
            Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
            Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
            Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.
            Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
            Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
            Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
            Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian pada hari ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didiknya.
            Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan social peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain.
            Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain.
            Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya.

            Proses memindahkan segala’keteladanan diri’ pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis antara mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan KiHajar itu sendiri


PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT KI HAJAR DEWANTARA

Dunia pendidikan kini telah banyak terbius oleh berbagai ajaran-ajaran maupun dogma-dogma dari luar negeri yang diajarkan baik dalam pendidikan formal, non-formal maupun informal.

Kita tidak menyadari bahwa banyak dogma ataupun ajaran tersebut tidak sesuai dengan budaya negeri ini. Padahal negeri kita telah memiliki sejumlah tokoh pengajar dan pendidik yang luar biasa, salah satunya adalah pengajaran bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.

Bila dicermati, berbagai persoalan sosial yang terjadi sekarang adalah akibat lemahnya sikap toleransi antar sesama masyarakat, menurunnya wibawa pemerintah karena berbagai kebijakannya yang dianggap tidak pro rakyat.

Melemahnya peranan norma dalam mengatur ketertiban masyarakat hingga ketidak percayaan terhadap hukum. Semuanya itu memunculkan berbagai perilaku perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku lain yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama.

Banyak kalangan yang akhirnya bertanya ”Apa yang salah dengan pendidikan nasional sehingga belum berhasil membangun karakter bangsa sebagaimana yang diamanatkan Pancasila, UUD 1945, dan UU NO. 20 Tahun 2003?”.

Membuat orang berkarakter adalah tugas pendidikan. Esensi pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter.

Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang dianut, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila yang sepenuhnya terintegrasi ke dalam harkat dan martabat manusia (HMM). HMM yang mengandung nilai-nilai luhur Pancasila inilah yang menjadi basis pendidikan. Dalam hal ini, paradigma pendidikan yang dikembangkan dan diimplementasikan adalah memuliakan kemanusiaan manusia, yang mana kemanusiaan manusia adalah HMM itu sendiri.

Pendidikan terwujud melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran ini terjadi tidak hanya sekedar pada tahap transfer pengetahuan (knowledge) semata, melainkan juga pada tahap transfer keterampilan (skill) hingga pada tahap transfer nilai-nilai (values) yaitu nilai-nilai kehidupan pada umumnya dan nilai-nilai spiritual keagamaan. Tahap inilah yang pada akhirnya mengarah kepada pembentukan karakter (character). Pendidikan pada akhirnya adalah pembangunan karakter.

Proses pembelajaran yang bermuatan pendidikan karakter itu dapat kita implementasikan dari ajaran pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara melalui Trilogi Pendidikan yang diajarkannya, yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Arti dari semboyan Trilogi pendidikan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).

Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata, sehingga tidak memiliki idealisme menjadi seorang pendidik. Tinggalkan mengajar tanpa dilandasi hakikat dari mengajar itu sendiri.

Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.

Aktualisasi ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter bangsa, sudah sangat mendesak diterapkan.

Kalau itu dilakukan, Indonesia akan bebas dari predikat negara terkorup, birokrasi terburuk, dan lainnya, yang kesemuanya itu disebabkan lemahnya sistem pendidikan yang berkarakter budaya Indonesia. Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya, sehingga Indonesia berubah jadi bangsa berkarakter tinggi. (di ambil dari berbagai sumber)